10 November 2010

Terima kasih

Terima kasih ya allah,
pagi ini Kau tampakkan langit biru bagi kami,
terlihat indah sekali...
Tak terbayangkan di lereng merapi sana,
berhari-hari tak sedikitpun cahaya matahari sampai di bumi.
Haruskah Kau timpakan suatu bencana,
agar kita bisa mensyukuri langit cerah Mu?

Terima kasih ya Allah,
masih Kau curahkan hujan lebat ini pada kami.
Air ini, membuat sumber-sumber air tanah kami kembali terisi.
Tak tergambarkan di sekitar merapi sana,
curahan hujan lebat debu vulkanik bertubi-tubi, berhari-hari.
Bukan cuma debu,
bahkan beribu-ribu meter kubik pasir dan kerikil
yang memedihkan mata,
jua menyesakkan dada.
Haruskah Kau cobakan suatu bencana,
agar kita bisa memandang hujan lebat ini sebagai rahmat Mu?

Terima kasih ya Rabb,
masih Kau biarkan nyawa ini mengisi raga kami.
Hanya karena kemurahanMu-lah,
masih Kau beri kami waktu,
masih Kau beri kami kesempatan,
untuk lebih pandai mengucap syukur,
Alhamdulillah...



---
Telah berhari-hari,
bahkan berbilang minggu,
bencana tiada surut jua.
Astaghfirullah...

Berilah kami yang terbaik ya Rabb,
Berilah petunjukkMu menuju yang terbaik itu
Dan mudahkanlah kami di dalamnya
Amin.


24 Agustus 2010

Yang Mati

Pagi ini ada keinginan kuat untuk melintasi komplek kuburan dekat rumah. Saya ikuti keinginan itu. Ada getaran yang sepertinya belum pernah saya rasakan. Betul saja, sampai di depan gerbang dan nampak jajaran rapi batu-batu nisan itu, air mata saya mulai merebak. "Assalamu'alaikum wahai ahli kubur. Sedang apakah anda semua pagi ini?"

Sedang apakah mereka pagi ini? Siang nanti? Sore? Malam? Besok? Lusa? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan? Sepuluh tahun lagi? Masya Allah... apa lagi yang bisa mereka perbuat?

Kembali terngiang lagunya Opick:
"Bila waktu tlah memanggil,
teman sejati hanyalah amal.
Bila waktu tlah terhenti,
teman sejati tinggallah sepi."

Ada saat ketika berhari-hari saya ketakutan setengah mati. Sebenarnya ketakutan saya hanya satu saja, yaitu ketika sholat malam. Saya bayangkan, saat saya mengakhiri sholat dan menoleh ke belakang mengucap salam, mata saya akan menangkap sosok Izroil. Hitam. Diam. Menunggu saya dengan tenang di sudut ruangan. Saya? Sekarang? Harus?

Saya hanya bisa menangis. Membayangkan saja saya tidak bisa berkutik, apalagi kalau sungguhan?

19 Agustus 2010

Eps.Tarawih: Infaq

Ada hal baru yang bisa saya lakukan ketika tarawih, yaitu punya kesempatan mengisi kotak infaq setiap hari. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan saya untuk mencari nilai nominal mata uang terkecil untuk mengisi kotak infaq tersebut. Ada lima ratus ya lima ratus, ada seribu ya seribu, namun ketika nilai nominal terkecil tinggal sepuluh ribu saya jadi ragu-ragu. Masak sih, infaq kok sepuluh ribu? Nggak kebanyakan?

Suatu ketika nominal terkecil di dompet saya lima ribu, dengan agak berat saya masukkan uang lima ribu itu di kotak. Hari berikutnya sengaja saya membawa pecahan dengan beberapa nilai nominal. Ketika tangan saya menggapai seribuan, hati saya merasa malu. Benar, cuma seribu? Iya deh... dua ribu.

Hari berikutnya lagi saya buru-buru berangkat terawih tanpa sempat menyiapkan recehan di dompet saya. Ketika edaran kotak infaq kian dekat menghampiri saya, saya mulai membuka dompet. Wah, tidak ada uang kecil. Cuma ada selembar seratus ribuan dan dua lembar dua puluh ribuan. Kalau tidak memberi hati saya merasa tidak enak. Pelit ya Bu? Lalu saya tersenyum. Allah tahu hati dan pikiran saya. Akhirnya saya raih selembar dua puluh ribuan untuk dimasukkan ke kontak infaq. Meski yang saya pilih tetap nominal terkecil, hati saya terasa lega.

Agaknya saya masih harus banyak belajar untuk tidak terpaku pada ‘mencari yang terkecil untuk memberi’. Bukan pada nilai nominalnya, tapi lebih kepada keikhlasannya. Ternyata ‘level’ saya masih di tingkat bawah. Semoga masih diberi cukup waktu untuk mengoreksi dan memperbaiki diri.

18 Agustus 2010

Eps.Tarawih: Sang Imam

Salah satu alasan saya memilih masjid/mushola tertentu untuk sholat tarawih adalah jumlah rakaatnya. Makin banyak rakaatnya, makin enggan saya mendatanginya untuk sholat berjamaah di sana. Capek. Dan semakin banyak surat-surat pendek yang dibacakan, semakin saya suka. Tarawihnya akan cepat selesai.

Di masjid yang biasa saya datangi, imam sholat Isya, tarawih dan witir kadang-kadang bukan orang yang sama. Suatu ketika, saya ingat betul, waktu itu puasa hari keempat, tarawih kelima. Ketika imam tarawih mulai mengangkat tangan saya merasa sesuatu yang lain pada suaranya. Mungkin jamaah lain merasakan hal yang sama, anak-anak yang biasanya ribut juga menjadi lebih tenang. Semuanya seakan hanyut oleh suaranya.

Perlahan saya menutup mata agar lebih khusu’. Suaranya lembut, tapi hati saya tidak tergetar dan mata saya tidak menangis. Saya hanya merasa nyaman. Nyaman yang luar bisa.

Mata saya terus terpejam. Tidak ada suara lain yang masuk ke telinga saya selain suara sang imam. Membuat saya seakan-akan terseret menuju tempat yang sangat jauh. Dan gelapnya perlahan mengeluarkan cahaya lembut. Sedikit demi sedikit, semakin lama semakin luas. Dan menjadi sangat luas. Sejauh mata memandang hanyalah warna hijau biru yang lembut. Tidak ada semilir angin. Hanya sejuk yang terasa. Tempat apakah seindah ini? Apakah saya bermimpi? Tidak, saya tetap terjaga dan saya tetap menjaga sholat saya.

Saya masih diliputi rasa takjub luar biasa ketika sang imam mengakhiri bacaannya. Hati saya berharap, semoga rakaat berikutnya beliau memilih surat yang lebih panjang lagi. Saya masih ingin di bawa ke sana..

13 Agustus 2010

Episode Tarawih

Marhaban ya Ramadhan 1431 H.

Alhamdulillah masih diberi nikmat umur panjang sehingga bisa berjumpa kembali dengan bulan ramadhan tahun ini. Semoga kesempatan beribadah di bulan ramadhan itu masih ada untuk tahun depan, tahun depannya lagi, dan seterusnya. Amin.

Saat ramadhan adalah saat anak-anak sangat bersemangat datang ke tempat ibadah seperti masjid atau mushola. Bertemu banyak teman, dapat kenalan baru, banyak kegiatan yang bisa dilakukan bersama, sangat menyenangkan.

Sebenarnya bukan saya tidak suka beribadah di mushola belakang rumah. Mushola kami ini saat ramadhan selalu penuh, sayang terlalu berisik. Dan karena mushola kami kecil adanya, tentu kenyamanan jamaah tidak terlalu terjamin. Dua buah kipas angin tidak mampu lagi mendinginkan udara di dalam mushola. Gerah. Sehingga saya merasa cukup punya alasan untuk tidak turut serta memakmurkan mushola kampung saya ini.

Saya memilih sholat berjamaah di masjid yang lebih besar. Masjid dengan tata suara yang lebih baik (cukup untuk menutup suara berisik anak-anak). Masjid dengan sirkulasi udara yang lebih nyaman. Ditambah bonus kultum yang variatif dan lebih berbobot.
Sehingga ibadah saya pun akan menjadi lebih khusuk. Begitukah? Beberapa kenalan saya ternyata mempunyai alasan hampir sama. Jadi, anggap saja alasan saya benar adanya.

29 Juli 2010

Kucing

Binatang berbulu dan berkaki empat yang bermuka lucu ini sewaktu kecil dulu sempat saya miliki. Karenanya saya terkena bronchitis, begitu kata ibu saya. Karena bulu-bulunyakah? Saya tidak begitu tahu. Yang jelas sekarang ini saya (juga suami dan anak-anak saya) tidak begitu akrab dengan binatang bernama kucing ini. Bahkan sangat sebal dengan banyaknya kucing liar di sekitar rumah tinggal kami. Berisik. Suka beranak di plafon rumah. Benar-benar sangat mengganggu.

Kucing yang tidak diharapkan

Teman saya Bu Ut, katanya, tidak begitu suka dengan binatang ini. Tapi suatu hari ketika saya berkunjung ke rumahnya ada seekor kucing yang sedang tidur melingkar di sofa. “Dia datang sendiri”, begitu katanya membela diri. Meski tidak suka, kucing itu tetap dirawat dengan baik, diberi makan dan minum secukupnya.

Hingga suatu hari Bu Ut menitipkan kucing ini pada seseorang untuk dibuang, diiringi pesan agar dibuang di tempat yang jauh dari rumah. Ternyata, sore harinya kucing itu pulang lagi ke rumah dengan napas tersengal-sengal. Si Kucing terlihat sangat kelelahan seperti habis berlari jauh. Tidak tega Bu Ut langsung menggendongnya dan segera diberi minum. Sambil mengelus-elus bulunya dia berkata, “Aduh, kasihan... kamu pasti capek ya berlari-lari sampai jauh”. Meski tidak suka, jika melihat kondisi kucing yang terengah-engah kehabisan napas seperti itu rasa ibanya muncul. Tidak tega.

Rupanya niat untuk membuang kucing itu tetap ada. Pada usahanya yang kedua Bu Ut menyuruh asistennya untuk membuang kucing itu di tempat yang menurutnya tersedia cukup banyak makanan, yaitu di pasar. Dan berhasil. Si kucing tidak pernah kembali lagi.

Pertolongan pertama pada kucing

Teman saya yang lain, Bu Ann , memelihara seekor kucing di rumah. Dia beserta ketiga anak perempuannya sangat menyayanginya. Bahkan salah satu ringtone di HP mereka adalah suara kucing, “Meong...”. Saya menanggapinya dengan senyum geli. Rupanya berbagai foto ekspresi wajah si kucing di HPnya belum cukup.

Hingga suatu hari Bu Ann bercerita punya kucing baru, masih kecil. Namanya saya lupa. Suatu siang, ketika dipanggil-panggil kucing kecilnya hanya menanggapi dengan menoleh dan mengangkat kepalanya saja. Karena kebetulan sedang ada urusan, kebiasaan yang tidak lazim dari kucingnya ini tidak dihiraukan. Setelah kesibukan mereda, sore harinya Bu Ann teringat lagi pada kucingnya tadi. Ternyata kucing kecilnya itu masih tergeletak di tempat yang sama. Kondisinya sangat memprihatinkan. Napasnya tinggal satu-satu, tersengal-sengal seperti tercekik. Sekarat. Kaget, tanpa pikir panjang langsung dibawanya kucing itu ke dokter hewan. “Sakit jantung Bu..”, begitu diagnosa dokter. Setelah diberi obat, kondisinya tetap tidak membaik. Akhirnya disarankan ke dokter hewan lain yang punya fasilitas lebih lengkap, di sana tersedia oksigen.

Jauhnya tempat dokter kedua ini tidak menyurutkan niat Bu Ann untuk membawa kucingnya ke sana. Pokoknya kucing kecil ini harus mendapat pertolongan secepatnya. Entah diberi tindakan medis apa saja (saya tidak tahu), akhirnya kucing kecil kesayangannya ini tertolong. Sempat dirawat/mondok di sana setengah hari, kemudian dijemput pulang. Syukurlah, kondisinya sudah lebih baik sekarang.

Operasi caesar pada kucing

Kali ini adalah kucing milik tetangga saya, Bu Par. Kucing kampung dengan bulu tiga warna, kucing telon kata orang jawa. Entah siapa namanya. Keberadaannya sangat mudah diketahui, terpasang lonceng kecil di lehernya.

Kala itu si Telon (sebut saja begitu) sedang hamil. Bu Par, Pak Par dan putrinya Lusi sangat menyayanginya. Ketika sore tiba pasti dicari untuk dimasukkan ke dalam rumah. Biar aman katanya, apalagi sedang hamil.

Waktu terus berlalu, tapi justru mengundang kekhawatiran pemiliknya. Kok belum juga melahirkan ya? Ketika saatnya tiba, ternyata Telon hanya bisa kesakitan tanpa bisa mengeluarkan anaknya. Tidak tega akhirnya Bu Par membawa Telon ke dokter hewan. Di sana diberi tindakan operasi caesar. Anaknya tiga, selamat semua. Syukurlah.

-----

Dari ketiga cerita tadi, Bu Ut tetap tidak tega ketika kucing yang dibuangnya pulang lagi dengan kondisi mengenaskan. Bu Ann tidak lagi memperhitungkan rupiah yang harus dikeluarkan untuk membayar keselamatan kucing kecilnya. Dan Bu Par yang tidak ragu mengoperasi caesar kucingnya dengan alasan dia punya anak perempuan. Harapannya, kelak jika Lusi melahirkan akan memperoleh kemudahan.

Saya memang tidak suka kucing. Tapi saya sangat memahami tindakan atau perilaku teman-teman saya terhadap kucing mereka. Yang utama adalah rasa kemanusiaan teman-teman saya. Mereka menjunjung tinggi kehidupan, setiap nyawa bagi mereka adalah sangat berharga. Salut..

28 Juli 2010

Nasi Basi

Ketika pagi tadi asisten pocokan saya di rumah mengatakan, “Bu sekule ampun dibucal, mangke kula pepene. Lumayan nek pas mboten gadhah beras saged didhang kalih klapa”. Deg! Kontan jantung saya serasa berhenti berdegub. Itu kan nasi aking. Jadi, sering jugakah mereka makan nasi aking? Suatu kondisi yang hanya pernah saya dengar dan lihat di TV. Ternyata, meski dekat, kemungkinan kondisi itu tak nampak oleh mata saya.

Saya sebenarnya tidak suka membuang nasi atau makanan lainnya. Tapi nasi yang terlalu lama di magic com akan berubah menjadi kering, berwarna kuning dan berbau tidak enak. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi kalau tiap hari ada sisa dan dikumpulkan tentu akan menjadi banyak.

Akhirnya, daripada dibuang, nasi yang menurut saya basi itu dibawa pulang bu asisten. Sampai rumah nasi itu dijemur sampai kering, kemudian dikumpulkan sebagai cadangan jika sewaktu-waktu kehabisan beras. Pengganti beras. Enak? Jelas tidak sama sekali.

Memang, beberapa waktu yang lalu keluarga asisten saya mendapat jatah raskin sebanyak 1 karung/bulan. Kurun waktu berikutnya, sekarung untuk 2 KK. Sekarang, sudah setahun ini, tidak mendapat jatah sama sekali. Entah kebijakan apa yang menghapuskan haknya untuk mendapatkan jatah raskin. Bukan hanya dia, tapi juga beberapa KK yang lain.

Akhirnya jatah bulanan dia, selain gaji, saya belikan beras. Beras yang sama dengan yang saya makan. Dan di sinilah letak salahnya, saya merasa sombong karena merasa berjasa telah memberi jatah beras untuk keluarganya. Tapi kalau hanya 5 kg, apakah cukup untuk makan keluarga dengan anggota 3 orang selama 1 bulan? Seringkali mereka harus membeli lagi 2 kg tiap bulannya. Jika masih kurang juga, nasi kering itulah yang digunakan untuk menenangkan perut lapar mereka sekeluarga. Masya Allah...

Berdosanya saya sekeluarga yang setiap hari dapat tidur nyenyak dengan perut kenyang, tetapi tetangga di depan rumah saya tidak demikian. Astaghfirullaahal’adziim.

11 Maret 2010

Marah-marah

“Kalau Ibuk nggak marah-marah lagi, nanti Ibuk muda terus dan nggak mati-mati.” (FAZA: Senin, 24 April 2006)

Pagi tadi sewaktu beres-beres meja kerja, saya temukan beberapa buku catatan yang sudah lampau. Iseng saja saya buka satu persatu, diantaranya yang menarik adalah pernyataan Faza di atas.

Lawan dari kalimat diatas barangkali begini: Jika Ibuk suka marah-marah, Ibuk akan cepat tua dan cepat mati. Aha, betul sekali!

Padahal dalam percakapan sehari-hari kalimat kedualah yang lebih sering diungkapkan. Kenapa begitu? Barangkali karena kita lebih mudah menggunakan kalimat yang bermakna negatif daripada sebaliknya. Contohnya antara lain; “Kalau kamu malas belajar nanti jadi anak bodoh”. Mengapa kita tidak lebih suka menggunakan kalimat “Kalau kamu tidak malas belajar nanti kamu akan jadi anak pintar”. Maknanya sama, tapi bisa jadi justru lebih mengena nasehat kedua daripada nasehat yang pertama.

Kembali pada Faza. Dia mengatakan kalimat diatas saat dia hampir menginjak usia 7 tahun. Jika anak sekecil itu bisa mengungkapkan sesuatu dengan kalimat yang lebih bijaksana, mengapa saya yang yang jadi ibunya sulit menggunakan kata-kata yang lebih ‘manis’ untuknya?


Sepertinya saya perlu membolak-balik lagi buku catatan saya, membacanya lagi, barangkali di sana saya bisa belajar lebih banyak dari Faza atau kakaknya.

27 Februari 2010

Putus

Senengnya menemukan sesuatu yang pernah saya tulis dulu, dulu sekali. Ya, saya menemukan sebuah surat untuk mantan pacar saya. Lebih tepatnya surat untuk minta putus. Waktu itu mau memutuskan hubungan rasanya kok sulit sekali. Mau ngomong langsung si dia tinggal di luar kota (pakai telpon mahal), kalau tidak diomongin sudah tidak ada lagi alasan untuk meneruskan hubungan. Lalu saya menulis sebuah prosa puisi itu.
Mohon maaf sekiranya seseorang yang pernah saya kirimi surat itu dulu membaca postingan saya kali ini. Sekedar nostalgia saja… tidak ada maksud lain.

Ini dia suratnya:


24 Februari 2010

Klakson

Sebel nggak sih, kalau kendaraan di belakang kita terus mengklakson?

Itulah yang saya alami pagi ini. Rasanya saya sudah berjalan di sisi yang benar. Di sisi sebelah kiri, tidak terlalu ke tengah karena saya mengendarai sepeda motor. Tapi kendaraan atau tepatnya mobil di belakang saya terus mengklakson saya. Heran, kurang minggir gimana lagi sih?

Oke… oke… motor lalu saya pepetkan ke kiri, memberi jalan yang lebih lapang untuk kendaraan ‘cerewet’ di belakang saya. Silakan tuaaan…. grr! Setelah dia melewati saya ternyata masih saja terus membunyikan klaksonnya. Padahal kondisi jalan di depan cukup sepi, tidak banyak kendaraan di sana. Aneh!

Yang saya tahu, ada beberapa orang yang sangat jarang sekali membunyikan klakson. “Kalau nggak terpaksa mendingan nggaklah, nggak perlu“, kata mereka memberi alasan. Diantaranya memang pernah tinggal di luar negeri. Di negara-negara yang lebih maju, lalu lintasnya jauh lebih tertib sehingga jarang sekali terdengar bunyi klakson. Selain itu karena memang tidak perlu membunyikannya.

Ternyata ada jenis pengemudi lain dengan kebiasaaan yang sangat berlawanan. Saya jadi ingat ketika suatu kali pernah menumpang sebuah taksi yang pengemudinya gemar sekali membunyikan klakson. Sepanjang jalan dari rumah menuju tujuan, selama 30 menit, bapak pengemudi taksi ini terus saja membunyikan klakson. Baik di jalan ramai maupun jalan sepi. Berisik sekali. Saya lalu mencoba berdamai dengan telinga saya dengan cara mengamati, saat bagaimana sajakah si bapak ini membunyikan klaksonnya. Sepertinya si bapak ini memang hobby mendengarkan suara klakson karena hampir tidak ada alasan khusus ketika membunyikannya. Suaranya bagus ya Pak? Hehe...

19 Februari 2010

bla!

bla... bla... bla...
bla... bla... bla...
hi… hi… hi…

bla... bla... bla...
bla... bla... bla...
he… he… he…

bla... bla... bla...
bla... bla... bla...
oh, ya...?
bla... bla... bla...
bla... bla... bla...
………
“ayo!! malah ngobrol terus…”
(suara gusar tiba-tiba menyela)

deg!!

lho, kok?
waduh,
kok aku yang disalahkan?
kok aku yang dituduh?

huu…
siapa suruh bergunjing coba?
ada apa dengan saringamu?
rusak?

rasain!!

15 Februari 2010

Suatu Pagi di Depo Sembako

Pagi itu saya berkunjung di depo sembako milik teman saya. Sekedar berkunjung sekaligus membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang mulai menipis.

Tempatnya sengaja dibuat cukup sederhana. Terletak di tepi jalan besar. Meski layak disebut toko, teman saya tidak mau menyebutnya sebagai toko. “Warung lebih tepat“, katanya merendah. Bukan tidak ada maksud dibelakang itu, dia tidak mau memberi jarak pada para pelanggannya yang sebagian besar dari kalangan menengah ke bawah.

Kesibukan di warung cukup terasa dengan banyaknya pembeli yang datang silih berganti. “Sorry ya... aku sambil melayani pembeli”, pintanya meminta pemakluman. Tapi justru itu, saya punya kesempatan untuk menikmati suasananya.

Berdagang itu ternyata sangat sulit. Harus ramah melayani siapapun yang datang. Entah itu orang tua, anak-anak, laki-laki, perempuan, cantik, jelek, ganteng, kaya, miskin, berpakaian rapi, berpakaian lusuh, berbau wangi, berbau apek... harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan itu. Sebagian besar datang dengan maksud membeli sembako (ya iyalah, namanya juga Depo Sembako). Beberapa datang untuk mengirim barang. Ada pula yang datang untuk komplin. Sisanya mungkin seperti saya ini, sedikit membeli dengan banyak mengobrol. “Ah, tapi saya tidak bergunjing kok“, bantah batin saya membela diri.

Salah satu pembeli yang menarik perhatian saya adalah seorang ibu setengah tua yang datang dengan mengendarai mobil. “Beras yang paling murah berapa ya?“, tanyanya sembari masuk ke dalam warung.
“Yang ini Bu, harganya Rp. 6.300,-,” jawab teman saya sambil mengantar ibu itu ke dalam. “Kenapa beli yang paling murah Bu? Yang lebih bagus juga ada. Ini Rp 6.800,- dan ini Rp 7.200,-“, lanjut teman saya.
“Beli 3 kg ya, ini untuk makan anjing saya kok.“, jawab ibu itu enteng. ”Anjing saya itu tidak bisa dikasih makan sembarangan. Lauknya kalau tidak hati sapi ya tulang iga yang masih ada dagingnya. Tapi harus direbus dulu, cucu saya kan masih kecil bisa bahaya nanti”, lanjutnya memberi keterangan.

Hah?! Beli beras hanya untuk makan anjing? Padahal beberapa saat sebelumnya ada seorang ibu, dengan penampilan sangat sederhana, dengan uang yang ada hanya mampu membeli beras yang paling murah 2 kg saja. Ingin membeli telur tapi sisa uangnya tidak cukup lagi. Duh, betapa jauh kesenjangan yang tampak di depan saya. Sungguh sangat mengenaskan. Ironisnya lagi, saya hanya bisa diam, bengong...

Dalam perjalanan pulang sempat terpikir di benak saya, seandainya satu orang mau menolong satu saja orang lain yang kekurangan tentu kesenjangan itu tidak akan terus membesar. Tidak harus besar, tidak harus banyak, sekedarnya saja sesuai dengan kemampuan kita. Semoga saya bisa memulainya, Insya Allah.

11 Februari 2010

Proyek Plastisin

Kali ini proyek 'mbikin-mbikin' si bungsu menggunakan bahan plastisin. Seperti biasa idenya berkembang kemana-mana. Berikut adalah beberapa hasil karyanya...

Aneka donat


Fountain

Kudapan I

Kudapan II
Kudapan II
French fries, ice cone, hamburger dan sofdrink

Setelah bereksperimen dengan beberapa bentuk, muncul ide lain. Barang-barang hasil proyek itu dijual. Kejutannya, setelah laku semua dia memberiku komisi. Katanya untuk mengganti kantong plastik yang dia ambil dari lemari. Hehe... terima kasih ya...

31 Januari 2010

Mbikin-mbikin...

Anakku yang satu ini paling hobby dengan prakarya. Dia sering menyebutnya dengan "Mbikin-mbikin". Jika pada umumnya prakarya adalah pelajaran paling menyebalkan (karena tidak tahu akan membuat apa) dan dianggap tidak penting karena tidak mempengaruhi kenaikan/kelulusan, hal itu tidak berlaku untuk anakku itu.

Hampir setiap hari Selasa (jadwal SBK ada di hari Selasa), pulang dari sekolah dia langsung mempersiapkan diri untuk pelajaran prakarya minggu depan. Mencari ide, membeli bahan-bahan, setelah itu langsung praktek, mencoba mewujudkan idenya itu.

Sejalan dengan waktu, semakin lama idenya itu semakin liar dan tidak terkendali, membuat susah dirinya sendiri untuk mewujudkannya. Idenya sering terlalu kompleks/ruwet, sementara kemampuan motoriknya belum mampu. Tapi dia tidak peduli. Setiap ganti tema, selalu muncul masalah yang sama, tidak singkron antara ide dan hasil akhirnya. Jika dipaksakan tetap bisa jadi tapi dengan hasil akhir yang buruk, karena sebenarnya untuk mewujudkan idenya itu diperlukan ketekunan terus menerus dan jam terbang lebih lama.

Jalan tengahnya, selalu kusarankan untuk membuat bentuk yang lebih sederhana, mudah dilaksanakan dan memberi hasil memuaskan. Karena prakarya itu bukan hanya sekedar mewujudkan ide, seni juga turut serta di dalamnya. Butuh sentuhan rasa untuk hasil akhirnya. Tidak jarang kita berdebat mengenai ini, tapi perlahan-lahan dia mulai menguasai diri untuk tidak terlalu menuruti idenya yang terlalu luas. Semoga hal ini, untuk jangka panjang, tidak mematikan ide-ide kreasinya.

Lain waktu, jika tidak ada persiapan untuk pelajaran prakarya, dia membuat proyek sendiri. Setiap kali ada ide, ide itu harus segera dilaksanakan. Ditunda senentar saja sudah bisa bikin dia senewen. Untuk itu di rumah harus selalu tersedia bahan-bahan dasar prakarya (berbagai macam kertas, kardus bekas, tutup galon bekas, kantong plastik, berbagai jenis lem, selotip, dll). Sering dia harus berburu batu, daun, kayu/ranting di kebon. Dan tak jarang pula alat-alat bantunya mengenai dan melukai badannya, seperti gergaji, arit, pisau, gunting, cutter, dll. Sudah biasa...

17 Januari 2010

Rumah Allah

Belum juga adzan Maghrib berkumandang , tapi mereka sudah ribut saling memanggil untuk pergi ke mushola. “Nanti, tunggu adzan“, jawabku selalu ketika anak-anakku minta ijin. Kenapa? Karena di halaman mushola mereka bisa sedemikian ribut bermain dan itu sering terbawa sampai shalat. Mengganggu sekali.

Puncaknya ketika Ramadhan tiba. Separo jamaah mushola kami adalah anak-anak. Yang kadang ribut saling bicara, bahu terguncang-guncang menahan tawa, lebih sering lagi berisik karena saling tendang dan tabok. Ampun!

Ditegur, hanya mempan satu rakaat. Selebihnya justru lebih heboh. Kadang kita, orang-orang tua ini, suka jengkel juga heran. Bandel banget sih mereka? Dimarahi saja tidak mempan, apalagi ’cuma’ dinasehati.

Anak-anak memang memiliki hati yang murni dan bersih. Mushola adalah rumah Allah. Bukan rumah bu ini yang judes atau rumah pak itu yang galak. Di rumah Allah mereka menemukan kesejukan jiwa, kebebasan jua keleluasaan rasa. Bebas. Mereka bebas berekspresi sesuka hati. Mau bicara, mau ribut, mau berkelahi, Allah tidak akan marah. Kasih sayang-Nya demikian terasa hangat di hati mereka. Maka tidak heran, begitu terdengar adzan bergegas mereka pergi ke mushola. Tanpa disuruh, tanpa dipaksa-paksa. Apapun yang sedang mereka kerjakan, begitu saja ditinggalkan.

Apakah kita sebagai orang tua bisa seperti mereka dalam memenuhi panggilan-Nya?
Sholat tepat pada waktunya?
(Ternyata hatiku belum sedekat mereka pada Sang Pencipta)

16 Januari 2010

Marah

Tidak disengaja...
Mata dan telingaku terpaku.
Hatiku berdebar-debar.

Bukan aku, tapi mereka pelakunya.
Aku hanya penonton.
Menonton, mengikuti, menyimak sekaligus menikmati pertengkaran dua orang itu.
Takjub.

Seperti itukah bertengkar itu?
Adu mulut.
Berlomba mengeluarkan kata-kata kasar.
Bertarung untuk saling menyakiti hati.
Asyiiik...
Aku asyik menunggu siapa pemenangnya.
(walau jengah bergayut sedikit demi sedikit)

Kuikuti pernuh perhatian,
kemudian kubayangkan aku di posisi suami.
Arogan.
Kasar.
Egois.
Karena api sudah terlalu besar,
sulit dipadamkan.
Hingga tiba kesadaran itu,
semua sudah hangus.
Terlambat dipadamkan.
Yah, kecewa…

Kureka ulang, kuubah posisiku sebagai istri.
Capek.
Hati capek karena badan lelah.
Capek kerja di luar (cari uang),
juga capek kerja di rumah (pekerjaan rumah).
Berusaha tetap tegar,
menahan jengkel dengan tangis tertahan.
Akhirnya,
diputuskan mundur.
Titik.
Tidak mau meneruskan lagi.
Menutup telinga untuk setiap panggilan.
Persetan.
Sudah tidak mau lagi.
Tidak mau!!
…….



Memang, aku tidak tahu permasalahan yang sedang mereka pertengkarkan. Aku juga tidak ingin tahu. Yang kunikmati pagi ini adalah pertengkaran itu sendiri. Mengapa harus saling menyakiti hati? Bukankah mereka sesungguhnya saling mencintai?

07 Januari 2010

Bermain

Siang itu saya agak terganggu oleh suara berisik anak-anak di depan rumah. Sekilas dari jendela terlihat si bungsu sedang bermain dengan temannya. Sedang apa mereka? Hanya berdua saja kok suaranya sampai sedemikan berisiknya.

Lama kelamaan tingkah mereka berdua menarik perhatian saya. Kemudian saya berjalan mendekati jendela kamar, duduk dengan enak di atas tempat tidur, lalu menonton ’pertunjukan’ mereka dari balik jendela. Menyimak dan menikmati apa saja yang mereka lakukan.

Tidak terasa 15 menit telah berlalu. Saya benar-benar ikut merasa senang melihat mereka bersenang-senang. Rasanya seperti kembali ke masa kecil dulu. Tertawa-tawa oleh lelucon yang tidak lucu, marah-marah karena merasa dicurangi, tersenyum culas ketika berhasil berbuat curang tanpa diketahui, hehe... menyenangkan sekali.

Dari 15 menit itu saja saya sudah dapat menemukan banyak pelajaran berharga. Jika bisa saya sebutkan satu persatu, antara lain:
  • Kemampuan berbicara. Seorang anak harus bisa berbicara dengan baik agar temannya mengerti apa yang dia maksudkan. Cara berbicaranya juga harus menyenangkan, tidak memaksakan kehendak, tidak bertele-tele, kalau perlu sesekali diberi cerita lucu. Jika salah seorang bercerita lucu, yang lain juga terpancing untuk bercerita lucu. Jika memang lucu mereka tertawa lepas, jika sebaliknya mereka bersama-sama berteriak ,“Huuuu.....!!“. Ekspresi mereka jujur, tidak basa-basi.
  • Kemampuan mendengarkan. Ketika satu orang sedang berbicara, yang lainnya mendengarkan, berusaha menangkap inti/isi pembicaraan. Namanya juga anak-anak, sesekali ada juga yang berusaha menyerobot pembicaraan, tidak sabar menunggu temannya selesai bicara.
  • Bekerja sama. Ada kalanya mereka harus bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya bekerja sama untuk memetik jambu atau mencuri rambutan hehe... Untuk kasus mencuri ini juga pelajaran berharga lho, bukan cuma perbuatan yang baik-baik saja.
  • Bersikap adil. Jambu atau rambutan yang berhasil mereka dapatkan harus dibagi rata, adil. Tidak ada yang merasa bahwa tugasnya lebih berat dari yang lain sehingga menuntut bagian lebih banyak.
  • Membuat aturan dan disepakati bersama. Sebelum memulai permainan tertentu ada kalanya mereka berkompromi tentang aturan mainnya. Setelah sepakat, permainan dimulai. Sesekali memang ada yang mencoba berbuat curang, tapi dengan cara khas mereka mengatasi persoalan, permainan dapat kembali berjalan damai.
  • Bersikap sportif. Pada permainan ’lomba memanjat’ satu orang memanjat dan yang lain menghitung. Saling percaya. Sampai hitungan berapa lawan mencapai ketinggian yang sudah disepakati. Jika kalah mereka akan berusaha, terus dan terus berusaha. Dan perlombaan ini berakhir ketika keduanya sudah benar-benar loyo karena beberapa kali harus naik turun pohon untuk memecahkan rekor.
  • Menguasai ketrampilan khusus. Dari beberapa permainan yang mereka lakukan, mereka kemudian menguasai ketrampilan tertentu. Contohnya ketrampilan memanjat pohon, ketrampilan bersepeda, ketrampilan berkelit dari kejaran, dan ada pula ketrampilan berlari kencang…

Bayangkan, dalam waktu 15 menit saja mereka sudah mempelajari dan mendapatkan begitu banyak pelajaran dan ketrampilan berharga. Bisakah kita mengajarkan semua itu hanya dengan berkata-kata?

Saya jadi berpikir, apakah sudah tepat jika ada*) orang tua yang tidak mengijinkan anak-anaknya bermain dengan teman-temannya di luar rumah? Membiarkan anak-anak mereka diam di rumah dan asyik bergaul dengan benda-benda bernama TV, PS, HP, dan komputer.

Catatan :
Sekarang begitu banyak orang tidak punya ketrampilan berbicara atau mengemukakan pendapat. Bicara ngalor ngidul tapi tidak ada isinya. Sebaliknya ada pula orang yang tidak bisa mendengarkan. Yaitu tidak mau mendengarkan orang lain bicara atau tidak bisa menangkap isi pembicaraan orang lain. Belum lagi persoalan bekerja sama, besikap adil, konsisten, dan sportif. Jauh...


Keterangan :
*)Ada berarti minimal satu orang dan saya pernah mendengar beliau (teman saya) berpendapat begitu. Siapa ? Ada lah…