18 Agustus 2010

Eps.Tarawih: Sang Imam

Salah satu alasan saya memilih masjid/mushola tertentu untuk sholat tarawih adalah jumlah rakaatnya. Makin banyak rakaatnya, makin enggan saya mendatanginya untuk sholat berjamaah di sana. Capek. Dan semakin banyak surat-surat pendek yang dibacakan, semakin saya suka. Tarawihnya akan cepat selesai.

Di masjid yang biasa saya datangi, imam sholat Isya, tarawih dan witir kadang-kadang bukan orang yang sama. Suatu ketika, saya ingat betul, waktu itu puasa hari keempat, tarawih kelima. Ketika imam tarawih mulai mengangkat tangan saya merasa sesuatu yang lain pada suaranya. Mungkin jamaah lain merasakan hal yang sama, anak-anak yang biasanya ribut juga menjadi lebih tenang. Semuanya seakan hanyut oleh suaranya.

Perlahan saya menutup mata agar lebih khusu’. Suaranya lembut, tapi hati saya tidak tergetar dan mata saya tidak menangis. Saya hanya merasa nyaman. Nyaman yang luar bisa.

Mata saya terus terpejam. Tidak ada suara lain yang masuk ke telinga saya selain suara sang imam. Membuat saya seakan-akan terseret menuju tempat yang sangat jauh. Dan gelapnya perlahan mengeluarkan cahaya lembut. Sedikit demi sedikit, semakin lama semakin luas. Dan menjadi sangat luas. Sejauh mata memandang hanyalah warna hijau biru yang lembut. Tidak ada semilir angin. Hanya sejuk yang terasa. Tempat apakah seindah ini? Apakah saya bermimpi? Tidak, saya tetap terjaga dan saya tetap menjaga sholat saya.

Saya masih diliputi rasa takjub luar biasa ketika sang imam mengakhiri bacaannya. Hati saya berharap, semoga rakaat berikutnya beliau memilih surat yang lebih panjang lagi. Saya masih ingin di bawa ke sana..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar