24 Agustus 2010

Yang Mati

Pagi ini ada keinginan kuat untuk melintasi komplek kuburan dekat rumah. Saya ikuti keinginan itu. Ada getaran yang sepertinya belum pernah saya rasakan. Betul saja, sampai di depan gerbang dan nampak jajaran rapi batu-batu nisan itu, air mata saya mulai merebak. "Assalamu'alaikum wahai ahli kubur. Sedang apakah anda semua pagi ini?"

Sedang apakah mereka pagi ini? Siang nanti? Sore? Malam? Besok? Lusa? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan? Sepuluh tahun lagi? Masya Allah... apa lagi yang bisa mereka perbuat?

Kembali terngiang lagunya Opick:
"Bila waktu tlah memanggil,
teman sejati hanyalah amal.
Bila waktu tlah terhenti,
teman sejati tinggallah sepi."

Ada saat ketika berhari-hari saya ketakutan setengah mati. Sebenarnya ketakutan saya hanya satu saja, yaitu ketika sholat malam. Saya bayangkan, saat saya mengakhiri sholat dan menoleh ke belakang mengucap salam, mata saya akan menangkap sosok Izroil. Hitam. Diam. Menunggu saya dengan tenang di sudut ruangan. Saya? Sekarang? Harus?

Saya hanya bisa menangis. Membayangkan saja saya tidak bisa berkutik, apalagi kalau sungguhan?

19 Agustus 2010

Eps.Tarawih: Infaq

Ada hal baru yang bisa saya lakukan ketika tarawih, yaitu punya kesempatan mengisi kotak infaq setiap hari. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan saya untuk mencari nilai nominal mata uang terkecil untuk mengisi kotak infaq tersebut. Ada lima ratus ya lima ratus, ada seribu ya seribu, namun ketika nilai nominal terkecil tinggal sepuluh ribu saya jadi ragu-ragu. Masak sih, infaq kok sepuluh ribu? Nggak kebanyakan?

Suatu ketika nominal terkecil di dompet saya lima ribu, dengan agak berat saya masukkan uang lima ribu itu di kotak. Hari berikutnya sengaja saya membawa pecahan dengan beberapa nilai nominal. Ketika tangan saya menggapai seribuan, hati saya merasa malu. Benar, cuma seribu? Iya deh... dua ribu.

Hari berikutnya lagi saya buru-buru berangkat terawih tanpa sempat menyiapkan recehan di dompet saya. Ketika edaran kotak infaq kian dekat menghampiri saya, saya mulai membuka dompet. Wah, tidak ada uang kecil. Cuma ada selembar seratus ribuan dan dua lembar dua puluh ribuan. Kalau tidak memberi hati saya merasa tidak enak. Pelit ya Bu? Lalu saya tersenyum. Allah tahu hati dan pikiran saya. Akhirnya saya raih selembar dua puluh ribuan untuk dimasukkan ke kontak infaq. Meski yang saya pilih tetap nominal terkecil, hati saya terasa lega.

Agaknya saya masih harus banyak belajar untuk tidak terpaku pada ‘mencari yang terkecil untuk memberi’. Bukan pada nilai nominalnya, tapi lebih kepada keikhlasannya. Ternyata ‘level’ saya masih di tingkat bawah. Semoga masih diberi cukup waktu untuk mengoreksi dan memperbaiki diri.

18 Agustus 2010

Eps.Tarawih: Sang Imam

Salah satu alasan saya memilih masjid/mushola tertentu untuk sholat tarawih adalah jumlah rakaatnya. Makin banyak rakaatnya, makin enggan saya mendatanginya untuk sholat berjamaah di sana. Capek. Dan semakin banyak surat-surat pendek yang dibacakan, semakin saya suka. Tarawihnya akan cepat selesai.

Di masjid yang biasa saya datangi, imam sholat Isya, tarawih dan witir kadang-kadang bukan orang yang sama. Suatu ketika, saya ingat betul, waktu itu puasa hari keempat, tarawih kelima. Ketika imam tarawih mulai mengangkat tangan saya merasa sesuatu yang lain pada suaranya. Mungkin jamaah lain merasakan hal yang sama, anak-anak yang biasanya ribut juga menjadi lebih tenang. Semuanya seakan hanyut oleh suaranya.

Perlahan saya menutup mata agar lebih khusu’. Suaranya lembut, tapi hati saya tidak tergetar dan mata saya tidak menangis. Saya hanya merasa nyaman. Nyaman yang luar bisa.

Mata saya terus terpejam. Tidak ada suara lain yang masuk ke telinga saya selain suara sang imam. Membuat saya seakan-akan terseret menuju tempat yang sangat jauh. Dan gelapnya perlahan mengeluarkan cahaya lembut. Sedikit demi sedikit, semakin lama semakin luas. Dan menjadi sangat luas. Sejauh mata memandang hanyalah warna hijau biru yang lembut. Tidak ada semilir angin. Hanya sejuk yang terasa. Tempat apakah seindah ini? Apakah saya bermimpi? Tidak, saya tetap terjaga dan saya tetap menjaga sholat saya.

Saya masih diliputi rasa takjub luar biasa ketika sang imam mengakhiri bacaannya. Hati saya berharap, semoga rakaat berikutnya beliau memilih surat yang lebih panjang lagi. Saya masih ingin di bawa ke sana..

13 Agustus 2010

Episode Tarawih

Marhaban ya Ramadhan 1431 H.

Alhamdulillah masih diberi nikmat umur panjang sehingga bisa berjumpa kembali dengan bulan ramadhan tahun ini. Semoga kesempatan beribadah di bulan ramadhan itu masih ada untuk tahun depan, tahun depannya lagi, dan seterusnya. Amin.

Saat ramadhan adalah saat anak-anak sangat bersemangat datang ke tempat ibadah seperti masjid atau mushola. Bertemu banyak teman, dapat kenalan baru, banyak kegiatan yang bisa dilakukan bersama, sangat menyenangkan.

Sebenarnya bukan saya tidak suka beribadah di mushola belakang rumah. Mushola kami ini saat ramadhan selalu penuh, sayang terlalu berisik. Dan karena mushola kami kecil adanya, tentu kenyamanan jamaah tidak terlalu terjamin. Dua buah kipas angin tidak mampu lagi mendinginkan udara di dalam mushola. Gerah. Sehingga saya merasa cukup punya alasan untuk tidak turut serta memakmurkan mushola kampung saya ini.

Saya memilih sholat berjamaah di masjid yang lebih besar. Masjid dengan tata suara yang lebih baik (cukup untuk menutup suara berisik anak-anak). Masjid dengan sirkulasi udara yang lebih nyaman. Ditambah bonus kultum yang variatif dan lebih berbobot.
Sehingga ibadah saya pun akan menjadi lebih khusuk. Begitukah? Beberapa kenalan saya ternyata mempunyai alasan hampir sama. Jadi, anggap saja alasan saya benar adanya.