17 Juni 2006

Menghilang dan Kehilangan

Kata hilang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti lenyap, gaib, raib. Hilang? Apanya yang hilang?

Account Yahoomail-ku nggak aktif. Begitu diaktifkan kembali, semua yang ada di dalamnya hilang semua, kembali dari awal lagi. Hhh, sedih banget... Bagaimana tidak, di sana tersimpan sesuatu yang sangat berharga untukku. Ya surat, ya alamat... dan juga kenangan. Salahku juga sih, lebih dari 4 bulan tidak kubuka. Semenjak pulang ke Indonesia, hubunganku dengan dunia maya seakan terputus. Selain permohonan telepon kabel yang tidak juga tersambung, juga tidak ada waktu cukup untuk pergi ke warnet.

Dulu sih buka internetnya sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi. Dimana ada sedikit waktu luang, bisa untuk buka email atau sekedar blogwalking. Chatting aja disambi wira-wiri masak atau jemput anak.

Sudahlah, tidak usah berlama-lama menyesali diri. Untuk teman-teman yang punya alamat emailku (alamat di Yahoo sudah diaktifkan lagi kok), kirim email dong, pleaseee.....

Portal

RT kampung saya dua tahun yang lalu secara swadaya memasang paving di jalan lingkungan. Hasilnya bagus. Jalan selebar 5 meter itu menjadi lebih rapi dan bersih.Tinggal bagaimana warga memeliharanya.
Paving selesai dikerjakan, timbul ide untuk memasang portal. Portal ini bukan seperti portal yang umumnya kita jumpai di jalan masuk sebuah perumahan. Portal ini, setinggi 2 m, gunanya untuk menyeleksi kendaraan berat yang akan masuk ke wilayah RT kita, seperti truk pengangkut bahan material, truk pindahan, dll. Kenapa? Ya... agar pavingnya tidak cepat rusak.
Ketika saya merenovasi tumah, urusan portal ini cukup merepotkan. Truk pasir sering tiba tengah malam atau dini hari karena dipesan langsung dari penambang. Jika sehari sebelumnya lupa meminjam kunci, urusan ini menjadi menyebalkan. Truk harus dipandu untuk mengambil jalan memutar tanpa portal yang tentu saja selain sempit juga banyak kendaraan yang diparkir di badan jalan, belum lagi pohon mangga atau rambutan dengan buah yang menggelantung rendah. Truk selesai dengan tugasnya, berikutnya adalah tugas saya membersihkan jalan dari ranting yang patah atau buah yang jatuh karena tersenggol truk.
Urusan portal iki semakin menjengkelkan ketika sebagian jalan yang menjadi milik bersama antara dua RT kunci portalnya diganti secara sepihak. Portal pembawa sengketa. Mengapa tidak diambil jalan tengah saja. Barang siapa melewati jalan dan merusakkan pavingnya harus mengganti atau memperbaiki seperti semula.
Memang repot berhadapan dengan orang yang tingkat “ngeyel”nya tinggi. Debat kusir, mempertahankan pendapat yang sama sekali tidak bermutu. Mobil-mobil pengangkut air mineral atau minyak tanah bisa masuk dengan leluasa, sementara sopir yang kadang membawa bis kantor pulang ke rumah harus parkir jauh diluar komplek. Bukan diukur dari berat kendaraan tapi dilihat dari besar kendaraan.
Akhirnya, setelah dibicarakan di tingkat RW, rapat RT kita bulan ini memutuskan bahwa portal akan segera dibongkar. Sekaligus membongkat ketidakmutuan yang diakibatkannya.

Perjalanan Pulang

Akhir September adalah batas visa kita berempat. Saatnya untuk berpisah...

hari ini,
kakiku melangkah keluar

menutup pintu perlahan,
disertai helaan napas panjang
hhh…
sungguh berat hati dan kaki ini
untuk pergi
menjauhinya...

kutatap sekali lagi,
kusentuh untuk terakhir kalinya
hhh...
selamat tinggal rumahku
tak terbilang banyaknya kenangan
tertinggal di setiap sudutmu

.....

hari ini,
di depan pintu kereta
masih kupandangi kota kecilku ini
ah, 4 tahun yang singkat

hari ini,
ketika kereta benar-benar beranjak
kuhela napas dalam-dalam
karena kau
sebentar lagi menjadi kenangan

hari ini,
kulambai tangan
sambil berbisik lirih,
selamat tinggal vechta...

.....

hari ini,
aku pulang

*********


Sehari sebelum jadwal penerbangan, kita sudah meninggalkan Vechta menuju Bremen. Jalur Student katanya, berangkat dari Bremen dengan kereta pk. 00.01 CET menuju Frankfurt. Empat kopor besar untuk bagasi, empat tas jinjing untuk di kabin. Betul-betul perjuangan ketika membawanya.

Pesawat lepas landas sebelum tengah hari. Dari jendela saya nikmati pemandangan khas musim gugur. Warna hijau, coklat, kuning, merah... yang semakin lama semakin kecil. Hingga akhirnya hanya tinggal warna biru dan putih awan-awan itu. Meninggalkan Jerman ternyata tidak seberat ketika meninggalkan Vechta.

Keluar dari rumah Vechta Rabu sore, sampai Jakarta Sabtu siang. Sungguh perjalanan panjang nan melelahkan. Selesai? Belum. Minggu malam kita lanjutkan lagi terbang menuju Jogja. Namanya juga jalur Student. Paanjaaaang dan laamaaaa...

Yang paling saya ingat ketika bermalam di Jakarta. Tuan rumah sudah tertidur lelap, kita masih segar bugar. Tengah malam di TV muncul itu, pengumuman kenaikan BBM… Wow, sangat mencengangkan! Keesokannya, beberapa saat setelah tiba di Jogja, di TV heboh berita bom Bali. Bukan main, kedatangan kita disambut dengan sangat meriah… Terima kasih.


Kemudian...

Faza.
Waktu terus berjalan. 3 bulan di Semarang, Faza tidak bisa lagi berbicara bahasa Jerman. Pasif, dia tahu tapi tidak bisa bicara. Yang tersisa tinggal cedalnya. Ketika diputar video saat dia main Puppenfinger malah nyeletuk, “Pak, itu artinya apa sih?”.

Kejutan, ketika terima rapot semester satu guru TK-nya Faza cerita, dari sekian kelas hanya kelasnya Faza yang ada bahasa Jermannya. Kok bisa? Ceritanya, di TK Faza selain bahasa Indonesia juga diajarkan bahasa Jawa dan Arab. Ketika itu Faza tanya, kenapa tidak ada bahasa Jerman. Oleh gurunya dijawab karena Bu Guru tidak bisa bahasa Jerman. Lalu Faza dengan senang hati mengajukan diri menjadi gurunya. Jadi ketika misalnya mempelajari angka, setelah gurunya mengajar, gantian Faza mengajar teman-temannya tentang angka dalam bahasa Jerman. Lho Za, sebenarnya kamu itu tidak bisa atau tidak mau bicara bahasa Jerman sih?

Ketika suatu hari demam, Faza mengeluh obat yang dari dokter tidak enak, tidak seperti yang di Jerman. Lalu ketika perutnya mual dia mengeluh, “Ibuk, perutku sakit aku mau muntah”. Wadah untuk tempat muntah disingkirkan dengan sebal, serunya, “Tidak mau itu, aku mau muntah di Jerman aja!!”. Duuuh, mau muntah aja ongkosnya mahal banget, mesti ke Jerman dulu... Sakit di Vechta lebih enak ya Za daripada di Semarang? (Ah, yang kangen rumah Vechta bukan cuma kamu kok Za... Ibuk juga).

Katanya lagi, “ Di Indonesia itu yang enak cuma makanannya, lainnya lebih enak di Jerman”. Ya jelas, di Jerman mana ada intip goreng, rengginan, slondok, tempe goreng enak (hiks, kalau pengen tempe enak harus bikin sendiri) dan segala macam jajan pasar.

Fariz.
Kalau Fariz tidak usah ditanya, dia sih Jerman is the best. Yang berat ketika dia harus melewati semester 1. Bahasa Indonesia dia tahu, tapi text book nol besar. Banyak kosa kata yang dia tidak paham sama sekali. Terutama pada pelajaran Bahasa Indonesia, PPKn dan IPS. Jika diterangkan panjang lebar tentang suatu hal yang dia mengerti hanya sekitar 30% saja. RDB, rak dong blas! Bisa ditebak, nilai rapotnya cukup bikin miris meski tidak sejelek yang saya duga.

Semester 2 mau tidak mau harus lari. Mata pelajaran yang sama seperti matematika saja, di sana baru sampai 100 di sini sudah sampai 1000. Alhamdulillah, sekarang sudah banyak kemajuan. Sudah tidak ada lagi nilai nol untuk ulangan harian. Hampir setiap ulangan selalu diatas 6, bahkan pernah beberapa kali mendapat 10. Fyuh!!
Suatu hari saya pernah mendapati secarik kertas di kantong baju seragamnya. Sebaris kalimat, “Fariz, kamu mau jadi pacarku?”. Hah, kelas 3 SD?? Seminggu kemudian ketika saya tunjukkan dia cuma melihat sekilas sambil berkata, “Ah, itu... sudah tidak lagi kok”. Hah, sudah tidak lagi?! Berarti pernah? Apa coba jawabnya? “Cuma sehari kok, habis nyebelin banget..... crigis!”. Hahaha...... kamu tidak senang dengan cewek crigis ya... Duh, anakku...

Blok D-5

Di sini sekarang kita tinggal.
Sebuah rumah,
di Blok D5.

Rumah baru,
hidup baru.
Jauh berbeda dari sebelumnya,
sangat...