31 Januari 2010

Mbikin-mbikin...

Anakku yang satu ini paling hobby dengan prakarya. Dia sering menyebutnya dengan "Mbikin-mbikin". Jika pada umumnya prakarya adalah pelajaran paling menyebalkan (karena tidak tahu akan membuat apa) dan dianggap tidak penting karena tidak mempengaruhi kenaikan/kelulusan, hal itu tidak berlaku untuk anakku itu.

Hampir setiap hari Selasa (jadwal SBK ada di hari Selasa), pulang dari sekolah dia langsung mempersiapkan diri untuk pelajaran prakarya minggu depan. Mencari ide, membeli bahan-bahan, setelah itu langsung praktek, mencoba mewujudkan idenya itu.

Sejalan dengan waktu, semakin lama idenya itu semakin liar dan tidak terkendali, membuat susah dirinya sendiri untuk mewujudkannya. Idenya sering terlalu kompleks/ruwet, sementara kemampuan motoriknya belum mampu. Tapi dia tidak peduli. Setiap ganti tema, selalu muncul masalah yang sama, tidak singkron antara ide dan hasil akhirnya. Jika dipaksakan tetap bisa jadi tapi dengan hasil akhir yang buruk, karena sebenarnya untuk mewujudkan idenya itu diperlukan ketekunan terus menerus dan jam terbang lebih lama.

Jalan tengahnya, selalu kusarankan untuk membuat bentuk yang lebih sederhana, mudah dilaksanakan dan memberi hasil memuaskan. Karena prakarya itu bukan hanya sekedar mewujudkan ide, seni juga turut serta di dalamnya. Butuh sentuhan rasa untuk hasil akhirnya. Tidak jarang kita berdebat mengenai ini, tapi perlahan-lahan dia mulai menguasai diri untuk tidak terlalu menuruti idenya yang terlalu luas. Semoga hal ini, untuk jangka panjang, tidak mematikan ide-ide kreasinya.

Lain waktu, jika tidak ada persiapan untuk pelajaran prakarya, dia membuat proyek sendiri. Setiap kali ada ide, ide itu harus segera dilaksanakan. Ditunda senentar saja sudah bisa bikin dia senewen. Untuk itu di rumah harus selalu tersedia bahan-bahan dasar prakarya (berbagai macam kertas, kardus bekas, tutup galon bekas, kantong plastik, berbagai jenis lem, selotip, dll). Sering dia harus berburu batu, daun, kayu/ranting di kebon. Dan tak jarang pula alat-alat bantunya mengenai dan melukai badannya, seperti gergaji, arit, pisau, gunting, cutter, dll. Sudah biasa...

17 Januari 2010

Rumah Allah

Belum juga adzan Maghrib berkumandang , tapi mereka sudah ribut saling memanggil untuk pergi ke mushola. “Nanti, tunggu adzan“, jawabku selalu ketika anak-anakku minta ijin. Kenapa? Karena di halaman mushola mereka bisa sedemikian ribut bermain dan itu sering terbawa sampai shalat. Mengganggu sekali.

Puncaknya ketika Ramadhan tiba. Separo jamaah mushola kami adalah anak-anak. Yang kadang ribut saling bicara, bahu terguncang-guncang menahan tawa, lebih sering lagi berisik karena saling tendang dan tabok. Ampun!

Ditegur, hanya mempan satu rakaat. Selebihnya justru lebih heboh. Kadang kita, orang-orang tua ini, suka jengkel juga heran. Bandel banget sih mereka? Dimarahi saja tidak mempan, apalagi ’cuma’ dinasehati.

Anak-anak memang memiliki hati yang murni dan bersih. Mushola adalah rumah Allah. Bukan rumah bu ini yang judes atau rumah pak itu yang galak. Di rumah Allah mereka menemukan kesejukan jiwa, kebebasan jua keleluasaan rasa. Bebas. Mereka bebas berekspresi sesuka hati. Mau bicara, mau ribut, mau berkelahi, Allah tidak akan marah. Kasih sayang-Nya demikian terasa hangat di hati mereka. Maka tidak heran, begitu terdengar adzan bergegas mereka pergi ke mushola. Tanpa disuruh, tanpa dipaksa-paksa. Apapun yang sedang mereka kerjakan, begitu saja ditinggalkan.

Apakah kita sebagai orang tua bisa seperti mereka dalam memenuhi panggilan-Nya?
Sholat tepat pada waktunya?
(Ternyata hatiku belum sedekat mereka pada Sang Pencipta)

16 Januari 2010

Marah

Tidak disengaja...
Mata dan telingaku terpaku.
Hatiku berdebar-debar.

Bukan aku, tapi mereka pelakunya.
Aku hanya penonton.
Menonton, mengikuti, menyimak sekaligus menikmati pertengkaran dua orang itu.
Takjub.

Seperti itukah bertengkar itu?
Adu mulut.
Berlomba mengeluarkan kata-kata kasar.
Bertarung untuk saling menyakiti hati.
Asyiiik...
Aku asyik menunggu siapa pemenangnya.
(walau jengah bergayut sedikit demi sedikit)

Kuikuti pernuh perhatian,
kemudian kubayangkan aku di posisi suami.
Arogan.
Kasar.
Egois.
Karena api sudah terlalu besar,
sulit dipadamkan.
Hingga tiba kesadaran itu,
semua sudah hangus.
Terlambat dipadamkan.
Yah, kecewa…

Kureka ulang, kuubah posisiku sebagai istri.
Capek.
Hati capek karena badan lelah.
Capek kerja di luar (cari uang),
juga capek kerja di rumah (pekerjaan rumah).
Berusaha tetap tegar,
menahan jengkel dengan tangis tertahan.
Akhirnya,
diputuskan mundur.
Titik.
Tidak mau meneruskan lagi.
Menutup telinga untuk setiap panggilan.
Persetan.
Sudah tidak mau lagi.
Tidak mau!!
…….



Memang, aku tidak tahu permasalahan yang sedang mereka pertengkarkan. Aku juga tidak ingin tahu. Yang kunikmati pagi ini adalah pertengkaran itu sendiri. Mengapa harus saling menyakiti hati? Bukankah mereka sesungguhnya saling mencintai?

07 Januari 2010

Bermain

Siang itu saya agak terganggu oleh suara berisik anak-anak di depan rumah. Sekilas dari jendela terlihat si bungsu sedang bermain dengan temannya. Sedang apa mereka? Hanya berdua saja kok suaranya sampai sedemikan berisiknya.

Lama kelamaan tingkah mereka berdua menarik perhatian saya. Kemudian saya berjalan mendekati jendela kamar, duduk dengan enak di atas tempat tidur, lalu menonton ’pertunjukan’ mereka dari balik jendela. Menyimak dan menikmati apa saja yang mereka lakukan.

Tidak terasa 15 menit telah berlalu. Saya benar-benar ikut merasa senang melihat mereka bersenang-senang. Rasanya seperti kembali ke masa kecil dulu. Tertawa-tawa oleh lelucon yang tidak lucu, marah-marah karena merasa dicurangi, tersenyum culas ketika berhasil berbuat curang tanpa diketahui, hehe... menyenangkan sekali.

Dari 15 menit itu saja saya sudah dapat menemukan banyak pelajaran berharga. Jika bisa saya sebutkan satu persatu, antara lain:
  • Kemampuan berbicara. Seorang anak harus bisa berbicara dengan baik agar temannya mengerti apa yang dia maksudkan. Cara berbicaranya juga harus menyenangkan, tidak memaksakan kehendak, tidak bertele-tele, kalau perlu sesekali diberi cerita lucu. Jika salah seorang bercerita lucu, yang lain juga terpancing untuk bercerita lucu. Jika memang lucu mereka tertawa lepas, jika sebaliknya mereka bersama-sama berteriak ,“Huuuu.....!!“. Ekspresi mereka jujur, tidak basa-basi.
  • Kemampuan mendengarkan. Ketika satu orang sedang berbicara, yang lainnya mendengarkan, berusaha menangkap inti/isi pembicaraan. Namanya juga anak-anak, sesekali ada juga yang berusaha menyerobot pembicaraan, tidak sabar menunggu temannya selesai bicara.
  • Bekerja sama. Ada kalanya mereka harus bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya bekerja sama untuk memetik jambu atau mencuri rambutan hehe... Untuk kasus mencuri ini juga pelajaran berharga lho, bukan cuma perbuatan yang baik-baik saja.
  • Bersikap adil. Jambu atau rambutan yang berhasil mereka dapatkan harus dibagi rata, adil. Tidak ada yang merasa bahwa tugasnya lebih berat dari yang lain sehingga menuntut bagian lebih banyak.
  • Membuat aturan dan disepakati bersama. Sebelum memulai permainan tertentu ada kalanya mereka berkompromi tentang aturan mainnya. Setelah sepakat, permainan dimulai. Sesekali memang ada yang mencoba berbuat curang, tapi dengan cara khas mereka mengatasi persoalan, permainan dapat kembali berjalan damai.
  • Bersikap sportif. Pada permainan ’lomba memanjat’ satu orang memanjat dan yang lain menghitung. Saling percaya. Sampai hitungan berapa lawan mencapai ketinggian yang sudah disepakati. Jika kalah mereka akan berusaha, terus dan terus berusaha. Dan perlombaan ini berakhir ketika keduanya sudah benar-benar loyo karena beberapa kali harus naik turun pohon untuk memecahkan rekor.
  • Menguasai ketrampilan khusus. Dari beberapa permainan yang mereka lakukan, mereka kemudian menguasai ketrampilan tertentu. Contohnya ketrampilan memanjat pohon, ketrampilan bersepeda, ketrampilan berkelit dari kejaran, dan ada pula ketrampilan berlari kencang…

Bayangkan, dalam waktu 15 menit saja mereka sudah mempelajari dan mendapatkan begitu banyak pelajaran dan ketrampilan berharga. Bisakah kita mengajarkan semua itu hanya dengan berkata-kata?

Saya jadi berpikir, apakah sudah tepat jika ada*) orang tua yang tidak mengijinkan anak-anaknya bermain dengan teman-temannya di luar rumah? Membiarkan anak-anak mereka diam di rumah dan asyik bergaul dengan benda-benda bernama TV, PS, HP, dan komputer.

Catatan :
Sekarang begitu banyak orang tidak punya ketrampilan berbicara atau mengemukakan pendapat. Bicara ngalor ngidul tapi tidak ada isinya. Sebaliknya ada pula orang yang tidak bisa mendengarkan. Yaitu tidak mau mendengarkan orang lain bicara atau tidak bisa menangkap isi pembicaraan orang lain. Belum lagi persoalan bekerja sama, besikap adil, konsisten, dan sportif. Jauh...


Keterangan :
*)Ada berarti minimal satu orang dan saya pernah mendengar beliau (teman saya) berpendapat begitu. Siapa ? Ada lah…