15 Februari 2010

Suatu Pagi di Depo Sembako

Pagi itu saya berkunjung di depo sembako milik teman saya. Sekedar berkunjung sekaligus membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang mulai menipis.

Tempatnya sengaja dibuat cukup sederhana. Terletak di tepi jalan besar. Meski layak disebut toko, teman saya tidak mau menyebutnya sebagai toko. “Warung lebih tepat“, katanya merendah. Bukan tidak ada maksud dibelakang itu, dia tidak mau memberi jarak pada para pelanggannya yang sebagian besar dari kalangan menengah ke bawah.

Kesibukan di warung cukup terasa dengan banyaknya pembeli yang datang silih berganti. “Sorry ya... aku sambil melayani pembeli”, pintanya meminta pemakluman. Tapi justru itu, saya punya kesempatan untuk menikmati suasananya.

Berdagang itu ternyata sangat sulit. Harus ramah melayani siapapun yang datang. Entah itu orang tua, anak-anak, laki-laki, perempuan, cantik, jelek, ganteng, kaya, miskin, berpakaian rapi, berpakaian lusuh, berbau wangi, berbau apek... harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan itu. Sebagian besar datang dengan maksud membeli sembako (ya iyalah, namanya juga Depo Sembako). Beberapa datang untuk mengirim barang. Ada pula yang datang untuk komplin. Sisanya mungkin seperti saya ini, sedikit membeli dengan banyak mengobrol. “Ah, tapi saya tidak bergunjing kok“, bantah batin saya membela diri.

Salah satu pembeli yang menarik perhatian saya adalah seorang ibu setengah tua yang datang dengan mengendarai mobil. “Beras yang paling murah berapa ya?“, tanyanya sembari masuk ke dalam warung.
“Yang ini Bu, harganya Rp. 6.300,-,” jawab teman saya sambil mengantar ibu itu ke dalam. “Kenapa beli yang paling murah Bu? Yang lebih bagus juga ada. Ini Rp 6.800,- dan ini Rp 7.200,-“, lanjut teman saya.
“Beli 3 kg ya, ini untuk makan anjing saya kok.“, jawab ibu itu enteng. ”Anjing saya itu tidak bisa dikasih makan sembarangan. Lauknya kalau tidak hati sapi ya tulang iga yang masih ada dagingnya. Tapi harus direbus dulu, cucu saya kan masih kecil bisa bahaya nanti”, lanjutnya memberi keterangan.

Hah?! Beli beras hanya untuk makan anjing? Padahal beberapa saat sebelumnya ada seorang ibu, dengan penampilan sangat sederhana, dengan uang yang ada hanya mampu membeli beras yang paling murah 2 kg saja. Ingin membeli telur tapi sisa uangnya tidak cukup lagi. Duh, betapa jauh kesenjangan yang tampak di depan saya. Sungguh sangat mengenaskan. Ironisnya lagi, saya hanya bisa diam, bengong...

Dalam perjalanan pulang sempat terpikir di benak saya, seandainya satu orang mau menolong satu saja orang lain yang kekurangan tentu kesenjangan itu tidak akan terus membesar. Tidak harus besar, tidak harus banyak, sekedarnya saja sesuai dengan kemampuan kita. Semoga saya bisa memulainya, Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar