27 Februari 2010

Putus

Senengnya menemukan sesuatu yang pernah saya tulis dulu, dulu sekali. Ya, saya menemukan sebuah surat untuk mantan pacar saya. Lebih tepatnya surat untuk minta putus. Waktu itu mau memutuskan hubungan rasanya kok sulit sekali. Mau ngomong langsung si dia tinggal di luar kota (pakai telpon mahal), kalau tidak diomongin sudah tidak ada lagi alasan untuk meneruskan hubungan. Lalu saya menulis sebuah prosa puisi itu.
Mohon maaf sekiranya seseorang yang pernah saya kirimi surat itu dulu membaca postingan saya kali ini. Sekedar nostalgia saja… tidak ada maksud lain.

Ini dia suratnya:


24 Februari 2010

Klakson

Sebel nggak sih, kalau kendaraan di belakang kita terus mengklakson?

Itulah yang saya alami pagi ini. Rasanya saya sudah berjalan di sisi yang benar. Di sisi sebelah kiri, tidak terlalu ke tengah karena saya mengendarai sepeda motor. Tapi kendaraan atau tepatnya mobil di belakang saya terus mengklakson saya. Heran, kurang minggir gimana lagi sih?

Oke… oke… motor lalu saya pepetkan ke kiri, memberi jalan yang lebih lapang untuk kendaraan ‘cerewet’ di belakang saya. Silakan tuaaan…. grr! Setelah dia melewati saya ternyata masih saja terus membunyikan klaksonnya. Padahal kondisi jalan di depan cukup sepi, tidak banyak kendaraan di sana. Aneh!

Yang saya tahu, ada beberapa orang yang sangat jarang sekali membunyikan klakson. “Kalau nggak terpaksa mendingan nggaklah, nggak perlu“, kata mereka memberi alasan. Diantaranya memang pernah tinggal di luar negeri. Di negara-negara yang lebih maju, lalu lintasnya jauh lebih tertib sehingga jarang sekali terdengar bunyi klakson. Selain itu karena memang tidak perlu membunyikannya.

Ternyata ada jenis pengemudi lain dengan kebiasaaan yang sangat berlawanan. Saya jadi ingat ketika suatu kali pernah menumpang sebuah taksi yang pengemudinya gemar sekali membunyikan klakson. Sepanjang jalan dari rumah menuju tujuan, selama 30 menit, bapak pengemudi taksi ini terus saja membunyikan klakson. Baik di jalan ramai maupun jalan sepi. Berisik sekali. Saya lalu mencoba berdamai dengan telinga saya dengan cara mengamati, saat bagaimana sajakah si bapak ini membunyikan klaksonnya. Sepertinya si bapak ini memang hobby mendengarkan suara klakson karena hampir tidak ada alasan khusus ketika membunyikannya. Suaranya bagus ya Pak? Hehe...

19 Februari 2010

bla!

bla... bla... bla...
bla... bla... bla...
hi… hi… hi…

bla... bla... bla...
bla... bla... bla...
he… he… he…

bla... bla... bla...
bla... bla... bla...
oh, ya...?
bla... bla... bla...
bla... bla... bla...
………
“ayo!! malah ngobrol terus…”
(suara gusar tiba-tiba menyela)

deg!!

lho, kok?
waduh,
kok aku yang disalahkan?
kok aku yang dituduh?

huu…
siapa suruh bergunjing coba?
ada apa dengan saringamu?
rusak?

rasain!!

15 Februari 2010

Suatu Pagi di Depo Sembako

Pagi itu saya berkunjung di depo sembako milik teman saya. Sekedar berkunjung sekaligus membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang mulai menipis.

Tempatnya sengaja dibuat cukup sederhana. Terletak di tepi jalan besar. Meski layak disebut toko, teman saya tidak mau menyebutnya sebagai toko. “Warung lebih tepat“, katanya merendah. Bukan tidak ada maksud dibelakang itu, dia tidak mau memberi jarak pada para pelanggannya yang sebagian besar dari kalangan menengah ke bawah.

Kesibukan di warung cukup terasa dengan banyaknya pembeli yang datang silih berganti. “Sorry ya... aku sambil melayani pembeli”, pintanya meminta pemakluman. Tapi justru itu, saya punya kesempatan untuk menikmati suasananya.

Berdagang itu ternyata sangat sulit. Harus ramah melayani siapapun yang datang. Entah itu orang tua, anak-anak, laki-laki, perempuan, cantik, jelek, ganteng, kaya, miskin, berpakaian rapi, berpakaian lusuh, berbau wangi, berbau apek... harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan itu. Sebagian besar datang dengan maksud membeli sembako (ya iyalah, namanya juga Depo Sembako). Beberapa datang untuk mengirim barang. Ada pula yang datang untuk komplin. Sisanya mungkin seperti saya ini, sedikit membeli dengan banyak mengobrol. “Ah, tapi saya tidak bergunjing kok“, bantah batin saya membela diri.

Salah satu pembeli yang menarik perhatian saya adalah seorang ibu setengah tua yang datang dengan mengendarai mobil. “Beras yang paling murah berapa ya?“, tanyanya sembari masuk ke dalam warung.
“Yang ini Bu, harganya Rp. 6.300,-,” jawab teman saya sambil mengantar ibu itu ke dalam. “Kenapa beli yang paling murah Bu? Yang lebih bagus juga ada. Ini Rp 6.800,- dan ini Rp 7.200,-“, lanjut teman saya.
“Beli 3 kg ya, ini untuk makan anjing saya kok.“, jawab ibu itu enteng. ”Anjing saya itu tidak bisa dikasih makan sembarangan. Lauknya kalau tidak hati sapi ya tulang iga yang masih ada dagingnya. Tapi harus direbus dulu, cucu saya kan masih kecil bisa bahaya nanti”, lanjutnya memberi keterangan.

Hah?! Beli beras hanya untuk makan anjing? Padahal beberapa saat sebelumnya ada seorang ibu, dengan penampilan sangat sederhana, dengan uang yang ada hanya mampu membeli beras yang paling murah 2 kg saja. Ingin membeli telur tapi sisa uangnya tidak cukup lagi. Duh, betapa jauh kesenjangan yang tampak di depan saya. Sungguh sangat mengenaskan. Ironisnya lagi, saya hanya bisa diam, bengong...

Dalam perjalanan pulang sempat terpikir di benak saya, seandainya satu orang mau menolong satu saja orang lain yang kekurangan tentu kesenjangan itu tidak akan terus membesar. Tidak harus besar, tidak harus banyak, sekedarnya saja sesuai dengan kemampuan kita. Semoga saya bisa memulainya, Insya Allah.

11 Februari 2010

Proyek Plastisin

Kali ini proyek 'mbikin-mbikin' si bungsu menggunakan bahan plastisin. Seperti biasa idenya berkembang kemana-mana. Berikut adalah beberapa hasil karyanya...

Aneka donat


Fountain

Kudapan I

Kudapan II
Kudapan II
French fries, ice cone, hamburger dan sofdrink

Setelah bereksperimen dengan beberapa bentuk, muncul ide lain. Barang-barang hasil proyek itu dijual. Kejutannya, setelah laku semua dia memberiku komisi. Katanya untuk mengganti kantong plastik yang dia ambil dari lemari. Hehe... terima kasih ya...