29 Juli 2010

Kucing

Binatang berbulu dan berkaki empat yang bermuka lucu ini sewaktu kecil dulu sempat saya miliki. Karenanya saya terkena bronchitis, begitu kata ibu saya. Karena bulu-bulunyakah? Saya tidak begitu tahu. Yang jelas sekarang ini saya (juga suami dan anak-anak saya) tidak begitu akrab dengan binatang bernama kucing ini. Bahkan sangat sebal dengan banyaknya kucing liar di sekitar rumah tinggal kami. Berisik. Suka beranak di plafon rumah. Benar-benar sangat mengganggu.

Kucing yang tidak diharapkan

Teman saya Bu Ut, katanya, tidak begitu suka dengan binatang ini. Tapi suatu hari ketika saya berkunjung ke rumahnya ada seekor kucing yang sedang tidur melingkar di sofa. “Dia datang sendiri”, begitu katanya membela diri. Meski tidak suka, kucing itu tetap dirawat dengan baik, diberi makan dan minum secukupnya.

Hingga suatu hari Bu Ut menitipkan kucing ini pada seseorang untuk dibuang, diiringi pesan agar dibuang di tempat yang jauh dari rumah. Ternyata, sore harinya kucing itu pulang lagi ke rumah dengan napas tersengal-sengal. Si Kucing terlihat sangat kelelahan seperti habis berlari jauh. Tidak tega Bu Ut langsung menggendongnya dan segera diberi minum. Sambil mengelus-elus bulunya dia berkata, “Aduh, kasihan... kamu pasti capek ya berlari-lari sampai jauh”. Meski tidak suka, jika melihat kondisi kucing yang terengah-engah kehabisan napas seperti itu rasa ibanya muncul. Tidak tega.

Rupanya niat untuk membuang kucing itu tetap ada. Pada usahanya yang kedua Bu Ut menyuruh asistennya untuk membuang kucing itu di tempat yang menurutnya tersedia cukup banyak makanan, yaitu di pasar. Dan berhasil. Si kucing tidak pernah kembali lagi.

Pertolongan pertama pada kucing

Teman saya yang lain, Bu Ann , memelihara seekor kucing di rumah. Dia beserta ketiga anak perempuannya sangat menyayanginya. Bahkan salah satu ringtone di HP mereka adalah suara kucing, “Meong...”. Saya menanggapinya dengan senyum geli. Rupanya berbagai foto ekspresi wajah si kucing di HPnya belum cukup.

Hingga suatu hari Bu Ann bercerita punya kucing baru, masih kecil. Namanya saya lupa. Suatu siang, ketika dipanggil-panggil kucing kecilnya hanya menanggapi dengan menoleh dan mengangkat kepalanya saja. Karena kebetulan sedang ada urusan, kebiasaan yang tidak lazim dari kucingnya ini tidak dihiraukan. Setelah kesibukan mereda, sore harinya Bu Ann teringat lagi pada kucingnya tadi. Ternyata kucing kecilnya itu masih tergeletak di tempat yang sama. Kondisinya sangat memprihatinkan. Napasnya tinggal satu-satu, tersengal-sengal seperti tercekik. Sekarat. Kaget, tanpa pikir panjang langsung dibawanya kucing itu ke dokter hewan. “Sakit jantung Bu..”, begitu diagnosa dokter. Setelah diberi obat, kondisinya tetap tidak membaik. Akhirnya disarankan ke dokter hewan lain yang punya fasilitas lebih lengkap, di sana tersedia oksigen.

Jauhnya tempat dokter kedua ini tidak menyurutkan niat Bu Ann untuk membawa kucingnya ke sana. Pokoknya kucing kecil ini harus mendapat pertolongan secepatnya. Entah diberi tindakan medis apa saja (saya tidak tahu), akhirnya kucing kecil kesayangannya ini tertolong. Sempat dirawat/mondok di sana setengah hari, kemudian dijemput pulang. Syukurlah, kondisinya sudah lebih baik sekarang.

Operasi caesar pada kucing

Kali ini adalah kucing milik tetangga saya, Bu Par. Kucing kampung dengan bulu tiga warna, kucing telon kata orang jawa. Entah siapa namanya. Keberadaannya sangat mudah diketahui, terpasang lonceng kecil di lehernya.

Kala itu si Telon (sebut saja begitu) sedang hamil. Bu Par, Pak Par dan putrinya Lusi sangat menyayanginya. Ketika sore tiba pasti dicari untuk dimasukkan ke dalam rumah. Biar aman katanya, apalagi sedang hamil.

Waktu terus berlalu, tapi justru mengundang kekhawatiran pemiliknya. Kok belum juga melahirkan ya? Ketika saatnya tiba, ternyata Telon hanya bisa kesakitan tanpa bisa mengeluarkan anaknya. Tidak tega akhirnya Bu Par membawa Telon ke dokter hewan. Di sana diberi tindakan operasi caesar. Anaknya tiga, selamat semua. Syukurlah.

-----

Dari ketiga cerita tadi, Bu Ut tetap tidak tega ketika kucing yang dibuangnya pulang lagi dengan kondisi mengenaskan. Bu Ann tidak lagi memperhitungkan rupiah yang harus dikeluarkan untuk membayar keselamatan kucing kecilnya. Dan Bu Par yang tidak ragu mengoperasi caesar kucingnya dengan alasan dia punya anak perempuan. Harapannya, kelak jika Lusi melahirkan akan memperoleh kemudahan.

Saya memang tidak suka kucing. Tapi saya sangat memahami tindakan atau perilaku teman-teman saya terhadap kucing mereka. Yang utama adalah rasa kemanusiaan teman-teman saya. Mereka menjunjung tinggi kehidupan, setiap nyawa bagi mereka adalah sangat berharga. Salut..

28 Juli 2010

Nasi Basi

Ketika pagi tadi asisten pocokan saya di rumah mengatakan, “Bu sekule ampun dibucal, mangke kula pepene. Lumayan nek pas mboten gadhah beras saged didhang kalih klapa”. Deg! Kontan jantung saya serasa berhenti berdegub. Itu kan nasi aking. Jadi, sering jugakah mereka makan nasi aking? Suatu kondisi yang hanya pernah saya dengar dan lihat di TV. Ternyata, meski dekat, kemungkinan kondisi itu tak nampak oleh mata saya.

Saya sebenarnya tidak suka membuang nasi atau makanan lainnya. Tapi nasi yang terlalu lama di magic com akan berubah menjadi kering, berwarna kuning dan berbau tidak enak. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi kalau tiap hari ada sisa dan dikumpulkan tentu akan menjadi banyak.

Akhirnya, daripada dibuang, nasi yang menurut saya basi itu dibawa pulang bu asisten. Sampai rumah nasi itu dijemur sampai kering, kemudian dikumpulkan sebagai cadangan jika sewaktu-waktu kehabisan beras. Pengganti beras. Enak? Jelas tidak sama sekali.

Memang, beberapa waktu yang lalu keluarga asisten saya mendapat jatah raskin sebanyak 1 karung/bulan. Kurun waktu berikutnya, sekarung untuk 2 KK. Sekarang, sudah setahun ini, tidak mendapat jatah sama sekali. Entah kebijakan apa yang menghapuskan haknya untuk mendapatkan jatah raskin. Bukan hanya dia, tapi juga beberapa KK yang lain.

Akhirnya jatah bulanan dia, selain gaji, saya belikan beras. Beras yang sama dengan yang saya makan. Dan di sinilah letak salahnya, saya merasa sombong karena merasa berjasa telah memberi jatah beras untuk keluarganya. Tapi kalau hanya 5 kg, apakah cukup untuk makan keluarga dengan anggota 3 orang selama 1 bulan? Seringkali mereka harus membeli lagi 2 kg tiap bulannya. Jika masih kurang juga, nasi kering itulah yang digunakan untuk menenangkan perut lapar mereka sekeluarga. Masya Allah...

Berdosanya saya sekeluarga yang setiap hari dapat tidur nyenyak dengan perut kenyang, tetapi tetangga di depan rumah saya tidak demikian. Astaghfirullaahal’adziim.