Akhir September adalah batas visa kita berempat. Saatnya untuk berpisah...
hari ini,
kakiku melangkah keluar
menutup pintu perlahan,
disertai helaan napas panjang
hhh…
sungguh berat hati dan kaki ini
untuk pergi
menjauhinya...
kutatap sekali lagi,
kusentuh untuk terakhir kalinya
hhh...
selamat tinggal rumahku
tak terbilang banyaknya kenangan
tertinggal di setiap sudutmu
.....
hari ini,
di depan pintu kereta
masih kupandangi kota kecilku ini
ah, 4 tahun yang singkat
hari ini,
ketika kereta benar-benar beranjak
kuhela napas dalam-dalam
karena kau
sebentar lagi menjadi kenangan
hari ini,
kulambai tangan
sambil berbisik lirih,
selamat tinggal vechta...
.....
hari ini,
aku pulang
*********
Sehari sebelum jadwal penerbangan, kita sudah meninggalkan Vechta menuju Bremen. Jalur Student katanya, berangkat dari Bremen dengan kereta pk. 00.01 CET menuju Frankfurt. Empat kopor besar untuk bagasi, empat tas jinjing untuk di kabin. Betul-betul perjuangan ketika membawanya.
Pesawat lepas landas sebelum tengah hari. Dari jendela saya nikmati pemandangan khas musim gugur. Warna hijau, coklat, kuning, merah... yang semakin lama semakin kecil. Hingga akhirnya hanya tinggal warna biru dan putih awan-awan itu. Meninggalkan Jerman ternyata tidak seberat ketika meninggalkan Vechta.
Keluar dari rumah Vechta Rabu sore, sampai Jakarta Sabtu siang. Sungguh perjalanan panjang nan melelahkan. Selesai? Belum. Minggu malam kita lanjutkan lagi terbang menuju Jogja. Namanya juga jalur Student. Paanjaaaang dan laamaaaa...
Yang paling saya ingat ketika bermalam di Jakarta. Tuan rumah sudah tertidur lelap, kita masih segar bugar. Tengah malam di TV muncul itu, pengumuman kenaikan BBM… Wow, sangat mencengangkan! Keesokannya, beberapa saat setelah tiba di Jogja, di TV heboh berita bom Bali. Bukan main, kedatangan kita disambut dengan sangat meriah… Terima kasih.
Kemudian...
Faza.
Waktu terus berjalan. 3 bulan di Semarang, Faza tidak bisa lagi berbicara bahasa Jerman. Pasif, dia tahu tapi tidak bisa bicara. Yang tersisa tinggal cedalnya. Ketika diputar video saat dia main Puppenfinger malah nyeletuk, “Pak, itu artinya apa sih?”.
Kejutan, ketika terima rapot semester satu guru TK-nya Faza cerita, dari sekian kelas hanya kelasnya Faza yang ada bahasa Jermannya. Kok bisa? Ceritanya, di TK Faza selain bahasa Indonesia juga diajarkan bahasa Jawa dan Arab. Ketika itu Faza tanya, kenapa tidak ada bahasa Jerman. Oleh gurunya dijawab karena Bu Guru tidak bisa bahasa Jerman. Lalu Faza dengan senang hati mengajukan diri menjadi gurunya. Jadi ketika misalnya mempelajari angka, setelah gurunya mengajar, gantian Faza mengajar teman-temannya tentang angka dalam bahasa Jerman. Lho Za, sebenarnya kamu itu tidak bisa atau tidak mau bicara bahasa Jerman sih?
Ketika suatu hari demam, Faza mengeluh obat yang dari dokter tidak enak, tidak seperti yang di Jerman. Lalu ketika perutnya mual dia mengeluh, “Ibuk, perutku sakit aku mau muntah”. Wadah untuk tempat muntah disingkirkan dengan sebal, serunya, “Tidak mau itu, aku mau muntah di Jerman aja!!”. Duuuh, mau muntah aja ongkosnya mahal banget, mesti ke Jerman dulu... Sakit di Vechta lebih enak ya Za daripada di Semarang? (Ah, yang kangen rumah Vechta bukan cuma kamu kok Za... Ibuk juga).
Katanya lagi, “ Di Indonesia itu yang enak cuma makanannya, lainnya lebih enak di Jerman”. Ya jelas, di Jerman mana ada intip goreng, rengginan, slondok, tempe goreng enak (hiks, kalau pengen tempe enak harus bikin sendiri) dan segala macam jajan pasar.
Fariz.
Kalau Fariz tidak usah ditanya, dia sih Jerman is the best. Yang berat ketika dia harus melewati semester 1. Bahasa Indonesia dia tahu, tapi text book nol besar. Banyak kosa kata yang dia tidak paham sama sekali. Terutama pada pelajaran Bahasa Indonesia, PPKn dan IPS. Jika diterangkan panjang lebar tentang suatu hal yang dia mengerti hanya sekitar 30% saja. RDB, rak dong blas! Bisa ditebak, nilai rapotnya cukup bikin miris meski tidak sejelek yang saya duga.
Semester 2 mau tidak mau harus lari. Mata pelajaran yang sama seperti matematika saja, di sana baru sampai 100 di sini sudah sampai 1000. Alhamdulillah, sekarang sudah banyak kemajuan. Sudah tidak ada lagi nilai nol untuk ulangan harian. Hampir setiap ulangan selalu diatas 6, bahkan pernah beberapa kali mendapat 10. Fyuh!!
Suatu hari saya pernah mendapati secarik kertas di kantong baju seragamnya. Sebaris kalimat, “Fariz, kamu mau jadi pacarku?”. Hah, kelas 3 SD?? Seminggu kemudian ketika saya tunjukkan dia cuma melihat sekilas sambil berkata, “Ah, itu... sudah tidak lagi kok”. Hah, sudah tidak lagi?! Berarti pernah? Apa coba jawabnya? “Cuma sehari kok, habis nyebelin banget..... crigis!”. Hahaha...... kamu tidak senang dengan cewek crigis ya... Duh, anakku...